Dalam bukunya Yingyai Shenglan, Ma Huan menggambarkan
Istana dijaga dengan sangat baik dan bersih. Istana raja adalah sebuah bangunan dua lantai, masing-masing tingginya 3 atau 4 chang (9-14,5 meter atau 30-48 kaki). Lantainya terbuat dari papan kayu dan tikar yang dibuat dari rotan atau alang-alang (mungkin daun kelapa), di mana orang duduk bersila. Atapnya terbuat dari sirap kayu (Jawa: sirap) yang diletakkan sebagai ubin.
Lalu bagaimana dengan arsitektur rumah penduduk? Menurut Kasi Perlindungan Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Trowulan, Widodo kepada deticom, Rabu (14/1/2015), desain rumah penduduk pada zaman Majapahit terdapat pada sejumlah candi. Antara lain, Candi Minak Jinggo di Trowulan, Candi Jago di Malang, Candi Jawi di Pasuruan, dan Candi Penataran di Blitar.
"Dari data relief Candi Minak Jinggo, pola tata ruang perumahan zaman Majapahit berpagar. Perkampungan ini terdiri atas sejumlah perumahan yang dibatasi tembok pagar keliling," jelasnya.
Keterangan gambar: Candi Wringin Lawang diduga sebagai pintu gerbang Kampung Penting |
Wikipedia mengungkapkan, atap rumah berbentuk limas segitiga memanjang dari bahan kayu.
Rumah-rumah rakyat biasanya beratap daun nipah. Setiap keluarga memiliki gudang penyimpanan yang terbuat dari batu bata, yang letaknya sekitar 3 atau 4 Qi (48,9 inci atau 124 cm) di atas tanah, di mana mereka menyimpan harta keluarga, dan mereka tinggal di atas bangunan ini, untuk duduk dan tidur.
Arsitektur candi Majapahit mengikuti
Meskipun beberapa
kuil bertanggal periode Majapahit menggunakan andesit atau batu pasir, batu
bata merah juga merupakan bahan konstruksi yang populer. Bata memang telah digunakan pada candi dari zaman klasik
di Indonesia , tapi juga mendominasi arsitek Majapahit pada abad ke-14 dan ke-15.
Dengan menggunakan
getah pohon anggur dan mortir gula aren, kuil mereka memiliki kualitas
geometris yang kuat. Contoh candi Majapahit adalah Bait Brahu di Trowulan, Pari
di Sidoarjo, Jabung di Probolinggo, dan kuil Candi Surawana di dekat Kediri . Beberapa kuil
bertanggal dari periode sebelumnya tapi direnovasi dan diperluas pada masa
Majapahit, seperti Penataran, candi terbesar di Jawa Timur bertanggal era Kediri . Candi ini
diidentifikasi dalam Nagarakertagama sebagai Candi Palah dan melaporkan telah
dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk selama tur kerajaan di Jawa Timur.
Beberapa gaya
arsitektur khas diyakini dikembangkan selama era Majapahit seperti gerbang yang tinggi dan langsing
beratap bata merah yang biasa disebut sebagai kori agung atau paduraksa, dan
juga gerbang terbelah candi bentar. Gerbang terbelah besar Wringin Lawang
terletak di Jatipasar, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, merupakan salah satu
yang tertua dan candi bentar terbesar dari era Majapahit. Candi bentar merupakan
bentuk candi Majapahit yang khas. Stukturnya terdiri dari tiga bagian; kaki,
tubuh dan atap tinggi. Candi ini terbagi menjadi dua struktur mirroring yang
ditengahnya kosong sehingga bisa dilalui orang.
Jenis gerbang terbelah ini tidak memiliki
pintu dan tidak memberikan tujuan defensif nyata tetapi ada penyempitan bagian
ini. Itu mungkin hanya melayani tujuan upacara dan estetika, untuk menciptakan
rasa keagungan, sebelum memasuki kompleks berikutnya melalui atap tinggi
gerbang paduraksa dengan pintu tertutup. Contoh kori agung atau gaya paduraksa gerbang
gerbang Bajang Ratu yang elegan kaya hiasan Kala Setan, Cyclops dan juga relief
yang menceritakan kisah Sri Tanjung. Gaya
arsitektur mereka khas Majapahit yang sangat dipengaruhi arsitektur Jawa dan Bali periode selanjutnya.
Dalam periode selanjutnya menjelang kejatuhan Majapahit,
seni dan arsitektur Majapahit menyaksikan kebangkitan unsur arsitektur adat
asli Austronesia megalitik, seperti Candi Sukuh dan Cetho di lereng barat
Gunung Lawu. Tidak seperti candi Majapahit sebelumnya yang menunjukkan
arsitektur Hindu khas struktur bertingkat menjulang tinggi, bentuk candi ini seperti
piramida melangkah, sangat mirip dengan piramida Mesoamerika. Struktur piramida
melangkah disebut Punden berundak (gundukan melangkah) adalah struktur
megalitik umum selama era prasejarah Indonesia sebelum penerapan budaya
Hindu-Budha.
Perilaku Penduduk
Ma
Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang
mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam
tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan
Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Setiap berada di
suatu kerajaan asing ia akan mencatat segala sesuatunya yang ia lihat termasuk
perilaku penduduknya.
Menurut
catatan Ma Huan, penduduk negara Majapahit memiliki kebiasaan yang nyleneh: tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat
tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit.
Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan
sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah
pinang dengan daun sirih dan limau.
Setelah
itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di
atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut
dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air.
“Jika
menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma
Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra).
Adapun
para pria di Majapahit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para
perempuan menyanggulnya. Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang
menutupi bagian bawah tubuh.
Para
pria membawa pulak, yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang
membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua. Senjata
ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja
terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka
dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti.
Para
penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan
ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan
untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah
mereka biasanya duduk.
Dalam
hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala
mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam
berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan
senjata dan mulai menusuk. “Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan
kekerasan,” catat Ma Huan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.