Kamis, 26 Maret 2015

Perilaku Nyleneh Penduduk Kota di Zaman Majapahit

Seperti apakah profil kota-kota pada zaman Majapahit? Orang-orang asing menggambarkan sebagai kota yang indah. Bangunan Istana raja dipenuhi ukiran rumit dan indah. Begitu juga dengan bangunan candi-candinya. Sedangkan rumah-rumah penduduk sudah pakai tembok. Namun ada yang unik dan nyleneh di zaman itu, yaitu perilaku penduduknya. Seperti apakah?



Dalam bukunya Yingyai Shenglan, Ma Huan menggambarkan kota Majapahit kebanyakan tidak memiliki dinding yang mengelilingi kota atau pinggiran kota. Dia menjelaskan istana raja di Majapahit dikelilingi dinding bata merah tebal yang tingginya lebih dari tiga chang (sekitar 30,5 kaki atau 9,3 meter), dengan panjang lebih dari 200 langkah (340 yard atau 310 meter) dan punya dua lapisan gerbang.

Istana dijaga dengan sangat baik dan bersih. Istana raja adalah sebuah bangunan dua lantai, masing-masing tingginya 3 atau 4 chang (9-14,5 meter atau 30-48 kaki). Lantainya terbuat dari papan kayu dan tikar yang dibuat dari rotan atau alang-alang (mungkin daun kelapa), di mana orang duduk bersila. Atapnya terbuat dari sirap kayu (Jawa: sirap) yang diletakkan sebagai ubin.

Lalu bagaimana dengan arsitektur rumah penduduk? Menurut Kasi Perlindungan Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Trowulan, Widodo kepada deticom, Rabu (14/1/2015), desain rumah penduduk pada zaman Majapahit terdapat pada sejumlah candi. Antara lain, Candi Minak Jinggo di Trowulan, Candi Jago di Malang, Candi Jawi di Pasuruan, dan Candi Penataran di Blitar.


"Dari data relief Candi Minak Jinggo, pola tata ruang perumahan zaman Majapahit berpagar. Perkampungan ini terdiri atas sejumlah perumahan yang dibatasi tembok pagar keliling," jelasnya.


Keterangan gambar: Candi Wringin Lawang diduga
sebagai pintu gerbang Kampung Penting
Bentuk bangunan Rumah Majapahit, lanjut Widodo, menyerupai pendopo. Bangunan rumah penduduk memiliki tiang penyangga berjumlah 4, 6 sampai 8. Tiang penyangga itu terbuat dari kayu. Lantai rumah terbuat dari batu sungai yang ditutup dengan bata merah.

Wikipedia mengungkapkan, atap rumah berbentuk limas segitiga memanjang dari bahan kayu.
Rumah-rumah rakyat biasanya beratap daun nipah. Setiap keluarga memiliki gudang penyimpanan yang terbuat dari batu bata, yang letaknya sekitar 3 atau 4 Qi (48,9 inci atau 124 cm) di atas tanah, di mana mereka menyimpan harta keluarga, dan mereka tinggal di atas bangunan ini, untuk duduk dan tidur.

Arsitektur candi Majapahit mengikuti gaya Jawa timur, yang berbeda dari gaya Jawa Tengah sebelumnya. Gaya Candi Jawa Timur berasal dari zaman Kadiri pada abad ke-11. Bentuk candi Majapahit yang cenderung langsing dan tinggi, dengan atap melengkung ke atas menciptakan perspektif ilusi bahwa candi dianggap lebih tinggi dari ketinggian sebenarnya. Puncak candi biasanya kubus (candi Hindu sebagian besar), kadang-kadang dagoba struktur silinder (kuil Buddha). 

Meskipun beberapa kuil bertanggal periode Majapahit menggunakan andesit atau batu pasir, batu bata merah juga merupakan bahan konstruksi yang populer. Bata memang telah digunakan pada candi dari zaman klasik di Indonesia, tapi juga mendominasi arsitek Majapahit pada abad ke-14 dan ke-15. 

Dengan menggunakan getah pohon anggur dan mortir gula aren, kuil mereka memiliki kualitas geometris yang kuat. Contoh candi Majapahit adalah Bait Brahu di Trowulan, Pari di Sidoarjo, Jabung di Probolinggo, dan kuil Candi Surawana di dekat Kediri. Beberapa kuil bertanggal dari periode sebelumnya tapi direnovasi dan diperluas pada masa Majapahit, seperti Penataran, candi terbesar di Jawa Timur bertanggal era Kediri. Candi ini diidentifikasi dalam Nagarakertagama sebagai Candi Palah dan melaporkan telah dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk selama tur kerajaan di Jawa Timur.

Beberapa gaya arsitektur khas diyakini dikembangkan selama era Majapahit  seperti gerbang yang tinggi dan langsing beratap bata merah yang biasa disebut sebagai kori agung atau paduraksa, dan juga gerbang terbelah candi bentar. Gerbang terbelah besar Wringin Lawang terletak di Jatipasar, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, merupakan salah satu yang tertua dan candi bentar terbesar dari era Majapahit. Candi bentar merupakan bentuk candi Majapahit yang khas. Stukturnya terdiri dari tiga bagian; kaki, tubuh dan atap tinggi. Candi ini terbagi menjadi dua struktur mirroring yang ditengahnya kosong sehingga bisa dilalui orang. 

Jenis gerbang terbelah ini tidak memiliki pintu dan tidak memberikan tujuan defensif nyata tetapi ada penyempitan bagian ini. Itu mungkin hanya melayani tujuan upacara dan estetika, untuk menciptakan rasa keagungan, sebelum memasuki kompleks berikutnya melalui atap tinggi gerbang paduraksa dengan pintu tertutup. Contoh kori agung atau gaya paduraksa gerbang gerbang Bajang Ratu yang elegan kaya hiasan Kala Setan, Cyclops dan juga relief yang menceritakan kisah Sri Tanjung. Gaya arsitektur mereka khas Majapahit yang sangat dipengaruhi arsitektur Jawa dan Bali periode selanjutnya.

Dalam periode selanjutnya menjelang kejatuhan Majapahit, seni dan arsitektur Majapahit menyaksikan kebangkitan unsur arsitektur adat asli Austronesia megalitik, seperti Candi Sukuh dan Cetho di lereng barat Gunung Lawu. Tidak seperti candi Majapahit sebelumnya yang menunjukkan arsitektur Hindu khas struktur bertingkat menjulang tinggi, bentuk candi ini seperti piramida melangkah, sangat mirip dengan piramida Mesoamerika. Struktur piramida melangkah disebut Punden berundak (gundukan melangkah) adalah struktur megalitik umum selama era prasejarah Indonesia sebelum penerapan budaya Hindu-Budha.

Perilaku Penduduk


Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Setiap berada di suatu kerajaan asing ia akan mencatat segala sesuatunya yang ia lihat termasuk perilaku penduduknya.

Menurut catatan Ma Huan, penduduk negara Majapahit memiliki kebiasaan yang nyleneh:  tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau.

Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air.

“Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra).

Adapun para pria di Majapahit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya. Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh.

Para pria membawa pulak, yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua. Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti.

Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk.

Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk. “Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan kekerasan,” catat Ma Huan.





1 komentar :

  • Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
    Unknown says:
    30 Agustus 2015 pukul 09.56

    Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar