Kota
Ponorogo selain dikenal sebagai kota reog, dikenal juga sebagai kota sate. Rasanya
belum ke Ponorogo kalau belum menikmati Sate Ponorogo. Bila anda ingin menikmati sate di Ponorogo silakan datang disuatu tempat yang disebut Gang Sate. Di situ banyak rumah buka usaha warung sate
Saat
ini para penjual sate khas Ponorogo terkonsentrasi pada cabang-cabang Jl.
Soekarno Hatta seperti Jl. Wilis atau Jl. Lawu. Di sini para penjual sate
banyak yang mewarisi usaha dari ayah-ibu, kakek/nenek atau buyut mereka.
Bahkan Jl. Lawu dikenal
sebagai Gang Sate karena banyaknya warung
sate yang ada di jalan ini. Di sini antara lain ada warung sate Pak Slamet
Sobikun yang dikelola anak mantunya Jupri. Lalu ada sejumlah penjual sate yang
masih satu keluarga dengan Slamet, yaitu Pak Tukri, Pak Nadi, Bu Siswati dan
Pak Iwan. Di
luar keluarga Sobikun, di Gang Sate ada juga penjual sate yang lain seperti Pak
Basori, Pak Hari, Bu Mariati, Pak Pujud, Pak Imun, Pak Tukul, Pak Senin, Pak
Mislan.
Salah seorang penjual sate, Slamet Sobikun
mengungkapkan, membuka usahanya sendiri di Jl.
Soekarno-Hatta di trotoar di depan toko milik orang lain pada tahun 1979. Atas
permintaan pemilik toko, ia terpaksa memindahkan warung satenya ke Jl. Hayam
Wuruk, yang kemudian berpindah lagi ke cabang Jl. Lawu yang dikenal sebagai
Gang Sate. “Kalau di Jl. Hayam Wuruk tempatnya nyewa, kalau di Jl. Lawu milik
sendiri,” ujar Slamet.
Ketika
pertama kali buka Warung Sate pada tahun 1979, Slamet mengakui untuk menghabiskan 5 kg daging
ayam saja susahnya setengah mati. Untuk itu dia harus berjualan sampai jam 22.00
malam atau bahkan sampai pukul 24.00. “Warung Sate saya berada dalam
bayang-bayang warung sate punya ayah saya. Para pelanggan ayah begitu fanatik
sehingga tak mau pindah ke warung saya,” ujar Slamet mengenang.
Warung
satenya baru ramai sekitar tahun 1990-an saat mulai banyak orang memiliki
kendaraan pribadi. Dengan harga jual Rp 21.000 per 10 tusuk, Warung Sate Pak Slamet
mampu meraup omset sekitar Rp 500.000/hari pada hari biasa, yaitu Senin-Kamis.
Pada hari-hari ramai: Jumat, Sabtu, Minggu bisa mencetak omset Rp 10 juta/hari.
Saat ini warung sate Pak Slamet dikelola oleh
mantunya, Dari ketiga anaknya, hanya anak mantunya
saja yang mau meneruskan
usaha warung satenya. “Anak saya yang satunya, seorang wanita menjadi ibu rumah
tangga di Wonogiri. Yang satunya lagi jualan pulsa di Nganjuk. Sejak 10 tahun
yang lalu saya serahkan pengelolaan warung saya kepada anak mantu saya, Jupri.
Saya cukup di belakang layar saja,” jelas Slamet Mudiarso.
Slamet
mengaku, warung satenya selama ini cukup tahan terhadap dampak krisis ekonomi
nasional ataupun global. Sejak awal sampai sekarang buka warung, ia tak pernah mengalami
kebangkrutan. Warungnya tetap dapat bertahan. Meskipun demikian kalau
harga-harga bahan lagi naik, laba usahanya jadi mepet. “Tapi nyatanya kita
tetap bisa menyesuaikan diri dengan kenaikan harga bahan-bahan dan usaha kita
tetap bisa bertahan,” tandasnya.
Namun
ia mengakui warung satenya tidak bisa ramai
sepanjang tahun. Ada sekitar 2 bulan masa sepi dalam setahun. Biasanya kalau
bulan ramadhan, omzet bisa turun hingga 40-50%. Masa sepi ini berlangsung hingga
beberapa hari setelah lebaran. Hari-hari sepi juga terjadi saat Idhul Adha
hingga seminggu kemudian.
Walau
sekarang ini bermunculan para pesaing baru, ia tidak khawatir. Dengan
memberikan servis yang baik, sikap ramah, kondisi warung yang bersih, dan rasa
yang enaknya konsisten, ia yakin tetap bisa bertahan. “Pelanggan kita umumnya
fanatik. Mereka nggak mau pindah walaupun ada warung sate baru,” ujar dia.
Lalu
bagaimana resepnya agar rasa masakannya enak secara konsisten? Dalam hal ini
pengelola Warung Sate Slamet Sobikun, menimbang semua bumbu yang akan
digunakan.
Agar
tidak rugi, ada teknis memotong daging ayam agar setiap kilonya menghasilkan
sekian tusuk sate. "Kalau sampai kurang dari itu bisa mempengaruhi
keuntungan usaha," jelas Slamet.
Saat
ini Pak Slamet mempekerjakan karyawan tetap sebanyak 8 orang. Kalau lagi ramai
ia akan mendatangkan tenaga tambahan agar para karyawan tetap tidak keteteran
dan warungnya bisa melayani pembeli maupun pesanan dengan baik. Warungnya buka
antara pagi-pagi sekali hingga jam 10.00 malam. “Kenapa kita sudah buka
pagi-pagi sekali karena saat itu ada saja yang mau ngopi. Khusus untuk pesanan kita
buka 24 jam,” kata pria dengan tiga anak itu.
Slamet
mengaku, di Gang Sate, warung satenya bukanlah yang terbesar. “Yang paling
besar itu warung milik Pak Tukri, saudara saya. Warung Pak Tukri sudah pernah
dikunjungi Presiden SBY 2 kali dan Pak Jokowi ketika kampanye pemilu dan
sebulan setelah dilantik jadi presiden. Warung milik keluarga besar kami juga
pernah mendapatkan pesanan dari Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati. Hanya Pak
Harto saja yang belum pernah berkunjung atau pesan sate ke warung kami, tapi
menterinya, Pak Harmoko sudah pernah pesan sate dari keluarga kami,” kenang
Slamet.
Warung
saudaranya, Tukri, lebih ramai dan dikunjungi tokoh nasional karena tempat makan
dan parkirnya lebih luas. Saat ini warung sate saudaranya itu sudah melakukan
ekspansi ke Solo sebanyak 1 unit dan Madiun 1 unit.
Andai
saja Jl. Lawu bisa dilewati bus, Slamet yakin akan banyak wisatawan yang makan
di sini dan warung sate di sini bisa tumbuh lebih besar. Kami pernah
mengusulkan pelebaran jalan pada Bupati tapi mungkin karena pembebasan tanahnya
yang sulit, sampai kini tak ada realisasi,” ujar Slamet.
Ciri Khas
Tentang
ciri-ciri sate Ponorogo, Pak Slamet mengatakan, berbeda dengan Sate Madura yang
dipotong pendek-pendek, Sate Ponorogo dagingnya dipotong panjang-panjang.
Selain itu dari penjual, saat disajikan pada pembeli tidak ada rajangan
brambang merah atau irisan cabe dan tidak ada taburan kecap. “Sekalipun
demikian di meja kita sediakan kecap dan sambal bagi mereka yang suka pedas dan
menyukai rasa kecap,” kata Slamet.
Perbedaan
lainnya, sejak awal potongan daging ayam yang sudah disusun pada tusuk sate
telah dicelupkan ke bumbu yang diramu dari berbagai rempah, lalu dipanggang. Pencelupan
dan pemanggangan itu dilakukan tiga kali sampai bumbunya benar-benar meresap ke
daging sate. “Ketika disajikan ke pembeli di meja makan sebetulnya tak usah
dibakar lagi sudah enak. Bahkan tak pelu dikasih bumbu kacang sudah enak,” ujar
slamet.
Berbeda
dengan Sate Madura, kuah/saus Sate
Ponorogo diolah seperti Sambel Pecel. Ketika akan dimakan dengan sate harus
dikasih air putih lebih dulu agar encer, lalu baru disirimkan di atas sate yang
sudah disusun di atas piring.
Sementara
Sate Pak Imun, kata Fitri, istri Rudi, dicelupkan ke ramuan bumbu dan kemudian
dipanggang sekali saja. Selanjutnya terserah pembeli apakan langsung dimakan
atau dibakar dulu. Juga terserah pembeli apa dimakan tanpa bumbu kacang atau
tidak. Sebab tanpa dibakar lebih dulu dan tanpa disiram bumbu kacang, satenya
sudah enak.
0 komentar :
Posting Komentar