Sabtu, 27 Desember 2014

Balai Pemuda Tempo Dulu Tempat Dansa-Dansi

Balai Pemuda Tempo Dulu
Di manakah tempat hiburan paling ramai di kota Surabaya pada zaman kolonial, khususnya sekitar tahun 1900-an? Jawabnya, Simpangsche Societeit atau yang sekarang disebut Balai Pemuda. Tapi sayangnya tempat hiburan ini khusus untuk warga Belanda dan Eropa saja, bukan untuk pribumi.

Lokasinya ada di Simpangstraat, yang sekarang sudah menjadi Jl. Gubernur Suryo. Jalan ini membujur dari Toendjoenganstraat (Jl. Tunjungan) hingga ujung Kajoonstraat (Jl. Kayon). Jalan ini dipisahkan Palmenlaan (sekarang Jl. Panglima Soedirman) dan Dijkermanstraat (kini Yos Sudarso).

Bentuk bangunan Simpangsche Societeit  begitu khas dan berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya di Surabaya. Bangunan utama bagian atasnya dihias dengan kubah yang berbentuk mahkota dan di kiri-kanannya ada selasarnya.

Pada malam hari di sekitar gedung selalu terang-benderang dengan diterangi lampu-lampu gas. Halaman gedung juga diterangi lampu-lampu yang dipasang pada tiang-tiang lampu berukir indah dan berjajar rapi sekali. Begitu juga Dijkermanstraat atau Simpangstraat diberi lampu setiap  30 depa. 

Mereka yang ingin datang dan pergi dari tempat ini biasanya menggunakan alat transportasi yang pada waktu itu disebut kereta setan. Mereka kebanyakan orang-orang Belanda dan sebagian lagi orang Eropa seperti Jerman dan lain-lain.

Di halaman gedung ada dua papan pengumuman yang satu menghadap ke Jl. Simpangstraat dan satunya lagi ke Dijkermanstraat bertuliskan “Verboden voor Inlander!” Yang artinya “Pribumi dilarang masuk!”  Yang boleh masuk hanyalah pribumi yang bekerja sebagai pelayan di tempat itu.

Lalu jenis hiburan seperti apa yang terdapat di sini? Di tempat inilah warga Belanda dan Eropa bersantai, berdansa dengan diiringi musik dan suara penyanyi. Para pengunjung juga bisa main bilyar bola tiga atau bowling bola kayu. Sebagian dari mereka mungkin lebih suka sekedar makan-minum saja.

Biasanya bersamaan dengan datangnya jam makan malam digelar acara dansa. Sebuah orchestra kecil yang terdiri dari tiga orang pemain biola dan satu orang pemain cello segera menyajikan komposisi lagu-lagu berirama waltz. Orang Belanda menyebut dansa waltz itu dengan sebutan weenerwals atau waltz Wina. Lagu-lagu ciptaan komponis Johann Strauss yang paling sering diperdengarkan dalam pesta tersebut.

Semakin malam suasana semakin panas. Minuman keras pun mulai beredar. Dansa yang diperagakan biasanya pulka yang rancak. Lagu pengiring favorit saat itu adalah Mamsell Ubermut serta Die Lustigen Kahlenberger.

Kalangan elit yang biasanya refreshing di sini mendirikan klub rasial bernama Vaderlandsche Club. Anggotanya terdiri dari para banker, pengusaha dan pemilik perkebunan yang kaya raya. Meski ini acara refreshing, mereka sering menyanyikan lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus dengan semangat. 

Orang-orang Belanda yang ada di Surabaya kebanyakan lahir di Surabaya seperti di Kembang Djepoen, Baliweerti, Boeboetan, Darmokali, dll. Mereka melampiaskan kerinduan akan tanah air mereka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda.

Semua pelayan adalah orang pribumi yang sudah dibekali dengan pendidikan adat dan tata krama, tapi kelihatan sekali kalau hidup mereka tak terjamin dari penampilan fisik mereka yang kurus-kurus.

Para pelayan dilengkapi dengan pakaian seragam model djas toetoep dan celana berwarna putih. Antara baju dan celana dililitkan kain panjang jarit yang diwiron. Para pelayan itu semua mengenakan ikat kepala udheng yang warnanya senada dengan kain jaritnya. Dan mereka semuanya bertelanjang kaki. Tugas mereka adalah terutama menyajikan makanan serta minuman untuk para tamu serta menjaga kebersihan gedung.

Sambil menyajikan minuman yang telah dituang dalam gelas-gelas kristal bertangkai tinggi, para pelayan itu hilir mudik dari satu ruangan ke ruangan yang lain di dalam gedung itu hingga ke selasar jika tamunya berada di luar gedung.


Minuman berbagai jenis diletakan dalam nampan kayu ukuran besar. Cara membawa baki harus diangkat di atas kepala, tidak boleh di bawahnya. Anggapan orang Belanda saat itu: bau mulut orang pribumi itu bisa meracuni minuman! Saat istirahat para pelayan dilarang duduk-duduk di kursi tetapi harus ndeprok di sudut ruangan.

Sumber:
1. Soerabaia Tempoe Doloe Buku 1 Dukut Imam Widodo “Bibit Kaitane Kutho Suroboyo” hal. 155-162,  Dinas Pariwisata Surabaya, 2012
2. Seri Bangunan Cagar Budaya (1) “Balai Pemuda Cipta Rasa dan Karsa” Disusun oleh Tim Bappeko Surabaya, Mei 2004, Penerbit: Bappeko Surabaya.

0 komentar :

Posting Komentar